Selasa, 15 Desember 2015

Sejarah Singkat NIT (Negara Indonesia Timur)



 
Terbentuknya Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1950 menimbulkan banyak keheranan di banyak kalangan tentang cepatnya sistem federasi terhapus di Indonesia. Kurang lebih enam bulan sesudah penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat bentuk Negara sudah berubah menjadi suatu Negara kesatuan[1].

Pemerintah Belanda mencetuskan gagasan federasi sebagai struktur ketatanegaraan di Indonesia pada bulan Desember 1945 pada saat Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. van Mook pada rapat Dewan Menteri Kerajaan Belanda pada tanggal 21 Desember 1945 mengajukan saran yang akan dipergunakan sebagai dasar kebijakasanaan dalam perundingan-perundingan yang akan diadakan dengan Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan Syahrir. Dalam gagasan van Mook tersebut untuk pertama kali disinggung struktur federasi Indonesia di kemudian hari disana disetujui oleh Dewan Menteri Kerajaan Belanda. Ketika perundingan Van Mook-Syahrir berlangsung di bulan Maret 1946, persoalan tersebut pun dibicarakan dan akhirnya dalam naskah persetujuan pendahuluan tanggal 27 dan 30 Maret 1946 antara van Mook dan Sutan Syahrir yang merupakan dasar pembicaraan di konprensi Hoge Veluwe di Negeri Belanda di bulan April 1946, dinyatakan antara lain bahwa Negara Indonesia yang merdeka akan berbentuk federal dalam Ikatan Suatu Uni dengan kerajaan Belanda[2].

Selanjutnya dalam persetujuan Linggajati yang diparaf oleh Ketua Komisaris Jenderal Prof. Schermerhorn dan Perdana Menteri Syahrir pada tanggal 15 November 1946, prinsip struktur federasi untuk ketatanegaraan Indonesia diterima oleh kedua belah pihak, dan dijamin dalam persetujuan tersebut. Dalam naskah itu disebutkan bahwa Republik Indonesia (Jawa, Sumatra dan Madura), Kalimantan dan Timur Besar (Indonesia Timur). Dari ketentuan dalam persetujuan Linggajati dapat dibuktikan bahwa federasi Indonesia akan terdiri dari bagian-bagian yang wilayahnya cukup besar dan boleh dikatakan seimbang luas dan potensinya. Ketika dilangsungkan Konprensi Malino di Sulawesi Selatan dari tanggal 16-25 Juli 1946, dalam pidato pembukaannya Letnan Gubernur Jenderal Van Mook secara panjang lebar menguraikan gagasan federasinya untuk pembangunan ketatanegaraan baru di Indonesia, dimana dia tegaskan bahwa dalam bentuk federasi itu adalah suatu syarat mutlak untuk menciptakan bagian-bagian yang besar dan seimbang untuk menghidarkan perpecahan dan umtuk menjamin dapat berfungsinya pemerintahan negara-negara bagian yang kuat dan mantap. Konprensi Malino menerima Struktur federasi sebagai asas ketatanegaraan Negara Indonesia Serikat yang akan terdiri dari negara-negara bagian yang luas wilayahnya dan besar wewenang kekuasaanya dan berpendapat bahwa Negara Indonesia Serikat akan terdiri dari Negara-negara Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Timur Besar (Indonesia Timur). Akhirnya pada KMB secara puncak penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda, Republik Indonesia Serikat dibentuk, yang berarti diterimanya gagasan federasi sebagai susunan ketatanegaraan Indonesia yang sejak Desember 1945 merupakan titik tolak pendirian Pemerintah Belanda dalam penyelesaian masalah Indonesia[3].

Perjalanan dari Negara Indonesia Timur menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia tidaklah mudah, tetapi melalui banyak perjuangan, baik melalui adu ide gagasan maupun dalam bentuk perjuangan bersenjata yang banyak mengorbankan jiwa rakyat Indonesia.

Perjuangan rakyat Sulawesi Selatan dalam melawan penjajahan bangsa asing, dimulai dari sejak VOC berusaha untuk menguasai atau memonopoli perdagangan dikawasan nusantara bagian timur pada abad ke-17. Kemudian, dilanjutkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda ketika berusaha menguasai sepenuhnya seluruh Sulawesi Selatan. Dan selanjutnya, diteruskan pada masa pendudukan militer Jepang ketika pecah Perang Dunia kedua. Serta sesudah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya sampai dengan tercapainya pengakuan kedaulatan oleh Belanda. Karena meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaanya, tetapi Belanda dengan berbagai cara masih tetap berusaha untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaanya di kawasan Sulawesi Selatan[4].

Rentetan perjuangan-perjuangan rakyat Sulawesi Selatan dalam melawan bangsa asing telah melahirkan pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh pejuang, antara lain: Sultan Hasanuddin, Karaeng Bontomarannu, Pancai Tanah Besse Kajuara, Lamadukkelleng, La Pawawoi Karaeng Sigeri, I Makkulau Karaeng Lembangparang, Andi Mappanyukki, Padjongan Daeng Ngalle Karaeng Polombangkeng, Andi Abdullah Bau Massepe, Andi Djemma, Pongtiku, Andi Tadda, Opu Daeng Risaju, Dr. Ratulangi, Andi Pangerang Petta Rani, Andi Sultan Daeng Raja, Ranggong Daeng Romo, Wolter Mongonsidi, Emmy Saelan, dan lain-lain. Tentu masih banyak pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh pejuang yang belum disebutkan. Padahal peranan mereka tidak kalah menariknya atau pentingnya untuk disimak



Catatan Kaki :
[1] Agung, Ide Anak Agung Gde, Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat, (Yogyakarta, Gajah Mada University Press), hal 774
[2] Opcit hal 775
[3] Opchit hal 776
[4]Arfah, Muhammad. ST. Nuraeda, Delila Supeno, Muhammad Amir. Lanto Daeng Pasewang Sebagai Seorang Nasionalis dan Patriotik.(Sulawesi Selatan, Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1994), Hal 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar